Seminggu terakhir, saya dapat dua kisah menarik. Keduanya berbeda namun memiliki benang berah.
Kisah pertama datang dari teman sedaerah yang kebetulan saudara jauh. Kita merantau ke kota yang sama. Nah, karena pandemi kan disarankan untuk bekerja dari rumah alias WFH. Saya beruntung karena kantor saya menjalankan pola kerja WFH. Nah, teman saya tidak demikian. Dia masih harus masuk kantor seperti biasa. Ini riskan, tapi nyatanya banyak perusahaan yang demikian. Jadi masih banyak teman lah, meskipun kata teman saya, “mau berangkat kerja seperti berangkat perang.”
Tapi ada satu hal lagi yang bikin kesal. Sudah disuruh masuk kantor, kalau misalnya sakit / tidak enak badan, maka akan diminta untuk cuti tapi tidak dibayar alias unpaid leave. Saya yang denger ceritanya aja bilang “Gila, ini bebannya ada di pegawai semua”, bayangkan keselnya teman saya. Coba, seberapa susah sih implementasi WFH, padahal perusahaan teman ini juga berhubungan sama teknologi. Teman saya sudah dongkol dan mau protes, tapi dicegah sama teman-teman kerja dia. Alasannya? Yang penting bersyukur dulu karena masih bisa kerja di masa susah begini.
Kisah berikutnya datang dari teman kuliah S2. Alkisah di zaman kuliah sekitar 2 tahun lalu, kita aliran yang semangat bikin startup atau perusahaan rintisan, jauh sebelum istilahnya ngetren karena drama Korea :). Punya ide ini, ajak teman-teman untuk bikin tim, godok materi, presentasi ke sana ke mari, berharap bisa nyangkut di inkubator, investor, atau kompetisi. Kita nggak satu tim, tapi punya spirit yang sama.
Di perjalanannya, saya setop duluan. Kehidupan ala startup founder nggak bisa menopang keluarga, jadi banting setir lah saya jadi pegawai. Berstatus software developer, ada kerja sama proyek kerjain pokoknya. Nah si teman ini sepertinya lanjut di dunia startup sampai beberapa waktu.
Kita cukup lama nggak kontak, mungkin sampai setahun, sampai beberapa waktu lalu saya lihat IG story nya berisi topik pemrograman yang familiar buat saya. Akhirnya saya japri dia. Setelah ngobrol beberapa waktu, akhirnya saya tahu dia kerja sebagai data analyst di sebuah startup. Dalam hati saya mikir, kayaknya jalan yang kita lalui sama deh. Jadilah saya singgung soal startup. Dan begini jawabannya.
Saya pun tertawa sama jawaban dia. Di balik alasan yang singkat itu, saya tahu persis beban yang terkandung. Pas zaman kuliah tentu semangat dan idealisme menggebu-gebu dong. Kita pikir bisa bikin ini itu, kontribusi ini itu, dan kita kejar betul-betul. Then real life happened. Saya punya tuntutan, dia punya tuntutan, belum lagi pandemi mengguncang perekonomian. Kami melihat tembok besar. Menjulang tegak menghadang mimpi.
Apakah kami menyerah? No. Absolutely not. Tapi tembok itu menyadarkan kami. Kami tidak bisa menggapai startup impian itu, setidaknya dengan kemampuan yang sekarang. Jalan yang perlu kami lalui adalah mengumpulkan pengalaman, koneksi, modal, keahlian supaya dipandang. Nanti jalan menuju startup atau posisi C-level akan tampak sendiri. Dia di jalur data, saya di jalur development. Pada akhirnya, kita saling memberi semangat untuk melampaui tembok tinggi dan terjal itu.
Buat saya, judul postingan ini adalah benang merah kedua cerita. Acceptance, atau ridha, nrima , menjadi aspek yang harus kita prioritaskan di tahun 2021. Tahun 2020 tidak sesuai rencana bagi kebanyakan orang. Di tahun 2021 kita optimis kondisi membaik. Namun tidak bisa seketika sama seperti sebelum pandemi. Dengan sikap ridha dan menerima, lebih cepat bagi kita untuk sembuh dan bangkit lagi. Kalau tidak, kita akan menyalahkan semua hal atas kesulitan yang kita alami. Entah itu Covid-19, kondisi perekonomian, bahkan diri sendiri.
Ada satu kalimat yang saya suka soal ini, “Ubahlah apa yang bisa diubah, terimalah apa yang tidak bisa diubah, dan bijaklah untuk membedakan keduanya.” Hal pertama yang perlu diperhaitkan adalah acceptance tidak sama dengan pasrah. Acceptance artinya menerima secara sadar dan mengerti batas, mana yang bisa diusahakan, mana yang perlu direlakan. Pasrah adalah menerima karena terpaksa. Bedanya di mana? Bedanya di kelegaan perasaan.
Di kasus pertama, apakah saya merasa lega kalau diam saja karena harus kerja di kantor sementara kalau sakit tidak dibayar? Saya pribadi sih tidak. Saya akan ajukan keberatan kepada manajemen dan menyarankan ada porsi campuran WFH dan WFO misal 50:50. Itu bisa saya usahakan. Tapi respon manajemen tidak bisa saya tebak. Antara mereka akan menerima positif atau malah memecat saya. Acceptance saya adalah menerima semua konsekuensi itu. Kalaupun saya dipecat akhirnya, minimal saya tahu bos saya memang tidak peduli sama nyawa anak buahnya dan lebih baik keluar. Jadi biang drama pun nggak masalah, hehehe. Tapi standar kelegaan perasaan tiap orang beda ya. Mungkin di grup teman saya memang demikian standarnya, mau bagaimana lagi.
Di kasus kedua, acceptance saya ada pada kesadaran bahwa menjadi pemilik startup belum memungkinkan sehingga saya rela banting setir. Saya butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa ini jalan terbaik, dan saya yakin yang lain juga berproses untuk sampai tahap ridha dan menerima.
Saya rasa tahun 2021 topik acceptance seharusnya diviralkan. Kita menyadari banyak hal terjadi di luar kendali, dan kita semestinya menerima hal itu. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan 100% adalah diri sendiri. Bagaimana kita berpikir, berbicara, dan bertindak. Dengan acceptance atau ridha, kita meraih kendali atas diri sendiri. Dari modal itulah, kita bisa bangkit lagi.