Acceptance

Seminggu terakhir, saya dapat dua kisah menarik. Keduanya berbeda namun memiliki benang berah.

Kisah pertama datang dari teman sedaerah yang kebetulan saudara jauh. Kita merantau ke kota yang sama. Nah, karena pandemi kan disarankan untuk bekerja dari rumah alias WFH. Saya beruntung karena kantor saya menjalankan pola kerja WFH. Nah, teman saya tidak demikian. Dia masih harus masuk kantor seperti biasa. Ini riskan, tapi nyatanya banyak perusahaan yang demikian. Jadi masih banyak teman lah, meskipun kata teman saya, “mau berangkat kerja seperti berangkat perang.”

Tapi ada satu hal lagi yang bikin kesal. Sudah disuruh masuk kantor, kalau misalnya sakit / tidak enak badan, maka akan diminta untuk cuti tapi tidak dibayar alias unpaid leave. Saya yang denger ceritanya aja bilang “Gila, ini bebannya ada di pegawai semua”, bayangkan keselnya teman saya. Coba, seberapa susah sih implementasi WFH, padahal perusahaan teman ini juga berhubungan sama teknologi. Teman saya sudah dongkol dan mau protes, tapi dicegah sama teman-teman kerja dia. Alasannya? Yang penting bersyukur dulu karena masih bisa kerja di masa susah begini.

Kisah berikutnya datang dari teman kuliah S2. Alkisah di zaman kuliah sekitar 2 tahun lalu, kita aliran yang semangat bikin startup atau perusahaan rintisan, jauh sebelum istilahnya ngetren karena drama Korea :). Punya ide ini, ajak teman-teman untuk bikin tim, godok materi, presentasi ke sana ke mari, berharap bisa nyangkut di inkubator, investor, atau kompetisi. Kita nggak satu tim, tapi punya spirit yang sama.

Di perjalanannya, saya setop duluan. Kehidupan ala startup founder nggak bisa menopang keluarga, jadi banting setir lah saya jadi pegawai. Berstatus software developer, ada kerja sama proyek kerjain pokoknya. Nah si teman ini sepertinya lanjut di dunia startup sampai beberapa waktu.

Kita cukup lama nggak kontak, mungkin sampai setahun, sampai beberapa waktu lalu saya lihat IG story nya berisi topik pemrograman yang familiar buat saya. Akhirnya saya japri dia. Setelah ngobrol beberapa waktu, akhirnya saya tahu dia kerja sebagai data analyst di sebuah startup. Dalam hati saya mikir, kayaknya jalan yang kita lalui sama deh. Jadilah saya singgung soal startup. Dan begini jawabannya.

Saya pun tertawa sama jawaban dia. Di balik alasan yang singkat itu, saya tahu persis beban yang terkandung. Pas zaman kuliah tentu semangat dan idealisme menggebu-gebu dong. Kita pikir bisa bikin ini itu, kontribusi ini itu, dan kita kejar betul-betul. Then real life happened. Saya punya tuntutan, dia punya tuntutan, belum lagi pandemi mengguncang perekonomian. Kami melihat tembok besar. Menjulang tegak menghadang mimpi.

Apakah kami menyerah? No. Absolutely not. Tapi tembok itu menyadarkan kami. Kami tidak bisa menggapai startup impian itu, setidaknya dengan kemampuan yang sekarang. Jalan yang perlu kami lalui adalah mengumpulkan pengalaman, koneksi, modal, keahlian supaya dipandang. Nanti jalan menuju startup atau posisi C-level akan tampak sendiri. Dia di jalur data, saya di jalur development. Pada akhirnya, kita saling memberi semangat untuk melampaui tembok tinggi dan terjal itu.

Buat saya, judul postingan ini adalah benang merah kedua cerita. Acceptance, atau ridha, nrima , menjadi aspek yang harus kita prioritaskan di tahun 2021. Tahun 2020 tidak sesuai rencana bagi kebanyakan orang. Di tahun 2021 kita optimis kondisi membaik. Namun tidak bisa seketika sama seperti sebelum pandemi. Dengan sikap ridha dan menerima, lebih cepat bagi kita untuk sembuh dan bangkit lagi. Kalau tidak, kita akan menyalahkan semua hal atas kesulitan yang kita alami. Entah itu Covid-19, kondisi perekonomian, bahkan diri sendiri.

Ada satu kalimat yang saya suka soal ini, “Ubahlah apa yang bisa diubah, terimalah apa yang tidak bisa diubah, dan bijaklah untuk membedakan keduanya.” Hal pertama yang perlu diperhaitkan adalah acceptance tidak sama dengan pasrah. Acceptance artinya menerima secara sadar dan mengerti batas, mana yang bisa diusahakan, mana yang perlu direlakan. Pasrah adalah menerima karena terpaksa. Bedanya di mana? Bedanya di kelegaan perasaan.

Di kasus pertama, apakah saya merasa lega kalau diam saja karena harus kerja di kantor sementara kalau sakit tidak dibayar? Saya pribadi sih tidak. Saya akan ajukan keberatan kepada manajemen dan menyarankan ada porsi campuran WFH dan WFO misal 50:50. Itu bisa saya usahakan. Tapi respon manajemen tidak bisa saya tebak. Antara mereka akan menerima positif atau malah memecat saya. Acceptance saya adalah menerima semua konsekuensi itu. Kalaupun saya dipecat akhirnya, minimal saya tahu bos saya memang tidak peduli sama nyawa anak buahnya dan lebih baik keluar. Jadi biang drama pun nggak masalah, hehehe. Tapi standar kelegaan perasaan tiap orang beda ya. Mungkin di grup teman saya memang demikian standarnya, mau bagaimana lagi.

Di kasus kedua, acceptance saya ada pada kesadaran bahwa menjadi pemilik startup belum memungkinkan sehingga saya rela banting setir. Saya butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa ini jalan terbaik, dan saya yakin yang lain juga berproses untuk sampai tahap ridha dan menerima.

Saya rasa tahun 2021 topik acceptance seharusnya diviralkan. Kita menyadari banyak hal terjadi di luar kendali, dan kita semestinya menerima hal itu. Satu-satunya yang bisa kita kendalikan 100% adalah diri sendiri. Bagaimana kita berpikir, berbicara, dan bertindak. Dengan acceptance atau ridha, kita meraih kendali atas diri sendiri. Dari modal itulah, kita bisa bangkit lagi.

Kita Mendiskriminasi Tarif Turis Asing dan Ini Gawat Bagi Pariwisata Indonesia

Pemerintah Indonesia menggalakkan sektor pariwisata sebagai sumber pemasukan di masa depan. Mengingat kekayaan alam dan budaya Indonesia demikian melimpah, hal tersebut sangat mungkin dilakukan. Pemerintah kemudian menggalakkan pembangunan infrastruktur untuk memudahkan akses ke tempat wisata tersebut. Dengan begitu, turis lokal maupun mancanegara akan nyaman mengunjungi berbagai tempat wisata Indonesia. So far so good.

Hanya saja, ada satu masalah yang jarang disorot: kesiapan kita, pelaku industri pariwisata dan masyarakat umum, untuk menjadikan Indonesia sebagai tujuan wisata yang menyenangkan. Terutama bagi turis mancanegara. Saya nggak mau muluk-muluk. Kali ini cukup bahas satu hal dulu: tarif.

Kisah Diskriminasi Tarif Turis Asing

Akhir tahun 2016 lalu, saya berwisata ke Banyuwangi bersama istri. Kami menginap di sebuah homestay paling terkenal di Banyuwangi menurut Airbnb. Karena Airbnb itu platform yang berbasis luar negeri, homestay itu dipenuhi dengan turis asing. Tamu dari Indonesia cuma saya dan istri saya loh. Nah, jadilah saya lebih banyak ngobrol dengan turis-turis asing itu. Mereka biasanya berkelompok 4-5 orang atau berpasangan 2 orang. Kita bertukar informasi dan pengalaman menjelajah Banyuwangi. Nah, di antara sekian kelompok yang kami ajak ngobrol, ada sepasang turis dari Cologne, Jerman yang tujuannya sama dengan kami: Kawah Ijen. Namanya Michael dan Barbara. Setelah ngobrol, akhirnya kami sepakat berangkat bersama supaya nggak nyasar.

Setelah perjalanan bersama, kami berempat sampai di pintu masuk wisata Kawah Ijen. Kemudian saya diberi tahu penjaga kalau loket bagi turis asing dan turis lokal dibedakan. Terus saya baru tahu lagi kalau beda harganya jauh. Rp 7.500 untuk turis lokal dan Rp 150.000 untuk turis mancanegara. Sudah begitu, kami (baik yang lokal maupun mancanegara) harus membayar Rp 50.000 untuk masker gas. Begitu tahu informasi tarif itu, Michael protes, “Mengapa kami harus membayar sangat mahal sementara kalian tidak?”

Baca lebih lanjut

Zakat dan Keadilan Ekonomi Masyarakat Islam

Pada akhir bulan Ramadhan, umat Islam selalu diingatkan untuk membayar zakat fitrah.  Sebagian muslim juga menghitung zakat mal yang dikeluarkannya pada bulan Ramadhan. Harta dalam jumlah besar mengalir pada masa seperti ini. Kita, umat muslim, memandang zakat sebagai syarat pembersihan harta sesuai Al-Qur’an dan sunnah. Saya tidak ahli bicara dari sisi dalil, jadi silakan mencari sendiri isinya. Yang bakal saya bahas adalah dampaknya di kehidupan masyarakat.

Seberapa besar harta yang kita bicarakan mengenai zakat ini? Sangat besar. Mari kita lakukan perhitungan kasar. Anggaplah penduduk Indonesia 250 juta jiwa dengan persentase 80% muslim. Itu setara 200 juta jiwa. Herru Widiatmanti lewat situs bppk.kemenkeu.go.id menyatakan kelas menengah Indonesia berjumlah 41,6 juta orang pada tahun 2012. Gaji minimum 3 juta per bulan. Saat ini sudah tahun 2017 dan anggap jumlahnya 50 juta jiwa. Apabila 80% nya muslim berarti ada 40 juta muslim, atau 10 juta keluarga muslim (empat anggota keluarga), yang wajib mengeluarkan zakat di Indonesia. Dengan asumsi harta rata-rata senilai 50 juta per keluarga, estimasi besaran zakat per tahun adalah 2,5% x Rp 50.000.000 x 10.000.000 keluarga wajib pajak = Rp 125.000.000.000. Wow, 125 triliun rupiah per tahun! Menurut Baznas, potensi zakat tahun 2015 mencapai 286 triliun. Saya berpendapat bahwa zakat di Indonesia biasanya dibayarkan per keluarga, sehingga hitungannya berbeda.

Saya sudah pernah bercerita bahwa secara alami, kekayaan di masyarakat tidak terdistribusi secara merata. Selalu ada orang kaya dan orang miskin. Masalahnya adalah seberapa besar kesenjangan antara keduanya. Sistem kapitalisme, yang mengutamakan kebebasan dalam berbisnis, mengakibatkan orang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Kalau kamu miskin itu akibat kebodohanmu sendiri, begitu kira-kira menurut penganut kapitalisme. Tidak ada tanggung jawab terhadap orang miskin. Hal ini menyakiti kehidupan bermasyarakat.

Islam adalah agama yang menekankan penghambaan terhadap Allah dan keadilan dalam bermasyarakat. Begitu banyak hukum yang mengatur urusan antarmanusia. Zakat adalah kombinasi keduanya. Bagi saya, hukum Islam sungguh hebat karena memasukkan konsep ekonomi yang adil. Bahkan, zakat ini begitu penting sampai menjadi pilar utama yaitu rukun Islam. Dalam Islam, harta adalah titipan. Ia kesenangan sekaligus ujian. Kemudian, ada hak orang lain dalam harta yang dititipkan. Konsep ini menimbulkan tanggung jawab ekonomi kepada orang lain. Yang mampu harus membantu yang tidak mampu. Hasilnya adalah dekatnya jarak antara orang kaya dan orang miskin. Ekonomi Islam itu proporsional, tidak melarang untuk mencari rezeki Allah di muka bumi, sekaligus membatasi keserakahan manusia.

Kemudian bayangkan uang 125 triliun tadi untuk kemaslahatan umat. Fakir miskin akan berkurang bebannya, yang terjerat hutang dapat kesempatan kedua, pejuang di jalan Allah akan dimudahkan jalannya. Kalau kita sadar pentingnya membayar zakat, masyarakat Islam akan semakin kuat.

penerimaan baznas

Penerimaan zakat yang tercatat Baznas tahun 2002-2016 (sumber: Outlook Zakat 2017 Puskasbaznas)

Banyak konsep bagus, tapi pelaksanaannya melempem. Zakat di Indonesia, dan mungkin belahan dunia lain, belum dapat dimaksimalkan. Masalah yang paling dasar adalah kurangnya kesadaran berzakat. Hukum Islam secara tegas melaknat muslim yang tidak membayar zakat. Namun tanpa sosialisasi dan peraturan khusus, saya rasa kesadaran itu belum akan muncul. Menurut Badan Amil Zakat Nasional, penerimaan zakat di tahun 2015 ‘hanya’ sebesar 3,7 triliun. Penyalurannya pun hanya terserap 61%. Belum lagi masalah optimalisasi penggunaan dana zakat.

pertumbuhan zakat indonesia

Pertumbuhan penerimaan zakat bertumbuh positif (sumber: Outlook Zakat 2017 Puskasbaznas)

Meskipun di Indonesia jalannya masih panjang, saya yakin zakat bisa menjadi pintu gerbang kemakmuran. Meskipun jauh dari potensinya, penerimaan zakat di Indonesia masih terus bertambah. Jadi, ayo berzakatlah para muslim. Untuk kebersihan harta, kemaslahatan umat, dan amalan di akhirat.

 

Bacaan lanjutan:

Pusat Kajian Strategis Baznas. Outlook Zakat Indonesia 2017. 2016. http://www.puskasbaznas.com/images/outlook/ OUTLOOK_ZAKAT_2017_PUSKASBAZNAS.pdf 

 

 

 

Mengapa Ada Orang Kaya dan Miskin?

Di muka bumi ini, dari Sabang sampai Merauke, dari Los Angeles sampai Tokyo, selalu ada golongan kaya dan miskin. Ada yang berlindung dibawah kardus, ada yang atapnya berpualam dihiasi chandelier. Ada yang banting tulang untuk makan besok, dan ada yang mempekerjakan 12 koki untuk sepiring kecil hidangan istimewa. Dua ujung ekstrem kekayaan ada dimanapun, dari dulu hingga sekarang. Mengapa begitu? Apakah ini hal alami? Mungkinkah ini konspirasi bankir global dan kaum zionis?

distribusi kekayaan

Saya memperoleh inspirasi ketika membaca status senior di kampus ITB bernama Okihita Hasiholan Sihaloho. Di bidang teknologi informasi, kami sering membuat analisis skenario. “Apa yang akan terjadi jika kita melakukan X?”, “Bagaimana dampak aspek Y terhadap kegiatan ini?” Jadi, saya ajak pembaca menganalisis satu skenario dalam rangka menjawab pertanyaan, “Mengapa ada orang kaya dan orang miskin?”

Pertama, kita andaikan semua orang di muka bumi awalnya sama persis jumlah harta bendanya. Tak ada yang kelebihan atau kekurangan. Kemudian setiap orang diberi satu ekor ayam (betina). Nah, apa yang terjadi selanjutnya?

Di sini kita bermain analisis skenario. Apakah semua orang akan bahagia? Ya, pada awalnya. Mereka dapat ayam secara cuma-cuma. Tapi selanjutnya kebutuhan muncul. Orang harus makan. Tentu ayam yang didapat dadakan jadi perhatian. Mayoritas (75% menurut Okihita) sadar bahwa ayam itu bisa dijual untuk uang atau dimasak jadi makanan. Mayoritas ini telah memenuhi kebutuhan mereka untuk satu hari. Sayangnya mereka melupakan esok hari. Akhirnya, mereka harus berusaha lagi untuk kepentingan hari esok.

Kemudian sebagian kecil (24% menurut Okihita) menyadari bahwa ayam (betina) dapat menghasilkan telur. Dengan telur itu, mereka dapat memenuhi kebutuhan makan sehari. Telur dapat dihasilkan ayam (betina) tiap hari, namun tidak untuk selamanya. Orang-orang ini bertahan lebih lama daripada mayoritas, namun suatu saat kemampuan ayam bertelur akan habis. Mereka harus berusaha lagi memenuhi kebutuhan setelahnya.

Hanya sebagian terkecil (1% menurut Okihita) yang menyadari bahwa ayam (betina) dapat dikawinkan dengan pejantan dan menghasilkan lebih banyak ayam. Nantinya ayam itu akan tumbuh sampai bisa dijual, dimakan, atau dikawinkan dan berketurunan lagi. Kelompok terkecil inilah yang takkan kehabisan ayam untuk memenuhi kebutuhan makannya.

Perlu dicatat bahwa “ayam” di sini hanyalah simbol dari segala sumber daya yang kita miliki. Modal, waktu, kecerdasan, koneksi. dan lain-lain. Pada hakikatnya, orang kaya lebih pandai mengelola sumber daya daripada orang miskin. Kemampuan mengelola itulah yang hanya dimiliki segelintir orang. Banyak orang yang berpikir untuk hari ini, sebagian yang berpikir untuk sebulan mendatang, tapi sedikit sekali yang berpikir untuk 10 tahun ke depan. Demikianlah fitrah manusia.

Jadi, mengapa ada orang kaya dan orang miskin? Karena ada perbedaan fitrah dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Apakah adanya orang kaya dan miskin itu alami? Ya, itu alami. Yang jadi masalah adalah seberapa besar jarak antara orang kaya dan orang miskin. Tapi itu topik untuk hari lain 🙂

Pancasila: Utopia yang Masih Dicari

Mulai tahun 2017, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa 1 Juni sebagai libur nasional Hari Lahir Pancasila. Keputusan tersebut jelas populer di mata masyarakat (siapa sih yang nggak mau tanggal merahnya tambah?). Niatnya pemerintah baik, mengembalikan kesadaran masyarakat atas nilai Pancasila. Di sisi lain, saya rasa kita perlu telaah lagi makna Pancasila di masyarakat masa kini. Apakah Pancasila, yang bertengger di dinding tiap kelas dan instansi pemerintahan, merupakan dasar yang kita inginkan dan amalkan?

Sekarang begini, kita selalu memahami Pancasila sebagai ideologi bangsa. Simbol dari nilai-nilai pokok yang dipegang bangsa Indonesia. Identitas bangsa. Begitu seterusnya seperti kata buku pelajaran Kewarganegaraan. Lima sila sakti.

Masalahnya, apakah kita semua memahami Pancasila dalam sudut pandang yang sama? Pancasila terlalu umum dan abstrak sehingga setiap orang punya penafsiran sendiri. Hal itu lantas menimbulkan kerancuan. Tidak mungkin bergerak maju sebagai bangsa kalau nilai dasarnya masih rancu. Kita ingin sesuatu yang lebih konkret, dihasilkan dari nilai Pancasila. Nah, sekarang siapa yang berhak menafsirkan Pancasila itu sendiri?

Dalam pidatonya di peringatan Hari Lahir Pancasila, Joko Widodo membentuk UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila) berdasarkan Perpres No 54 Tahun 2017. Tugasnya adalah menyusun garis-garis besar haluan ideologi Pancasila dan road map pembinaan ideologi Pancasila. Sebuah usaha untuk menafsirkan Pancasila. Menurut saya, ini inisiatif baik dari pemerintah. Dengan catatan tidak mengulangi kesalahan pemerintah yang telah lalu.

Pada masa Orde Baru, dikenal P4 dan P7 yang juga merupakan usaha penafsiran Pancasila oleh pemerintah masa itu. Letak kesalahannya adalah Pancasila menjadi alat pemerintah untuk membentuk rezim otoriter. Siapapun yang menentang pemerintah artinya menentang Pancasila alias ancaman negara yang harus disingkirkan. Pancasila juga dijadikan pembenaran atas pembantaian PKI, sejarah kelam bangsa ini.

Pada masa Orde Lama, Soekarno pun memelintir sila keempat, mengumumkan perubahan konstitusi, dan mendeklarasikan diri sebagai presiden seumur hidup. Sebuah kontradiksi dimana beliau sendiri yang ikut merumuskan dan membacakan naskah Pancasila.

Pada masa reformasi, rakyat mendapatkan kebebasan politik besar sampai nilai Pancasila (yang masih berasosiasi kuat dengan Orde Baru) perlahan memudar. Kita cenderung ke arah liberal, layaknya negara berkembang yang ekonominya membaik. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah masih belum menampakkan hasil hingga saat ini.

Secara objektif, saya berpendapat bahwa Pancasila rawan penyimpangan tafsir oleh pemerintah. Jawaban ideal tentang siapa yang berhak menafsirkan Pancasila adalah orang yang ahli hukum, sejarah, dan sosial yang diakui secara nasional. Dalam Islam, hal tersebut analog dengan Al-Qur’an yang hanya boleh ditafsirkan oleh ahli bahasa Arab, hukum Islam, dan ilmu terkait serta diakui oleh umat. Apabila pemerintah saat ini mengumpulkan tokoh masyarakat dan para ahli lalu merumuskan tafsir Pancasila yang universal, maka Pancasila bisa sekali lagi menjadi nilai yang kita miliki bersama sebagai bangsa.

Saat ini, Pancasila masih sebuah utopia. Nilai luhur idaman bangsa. Identitas yang diinginkan Indonesia, bukan identitas Indonesia masa kini. Posisinya yang masih bertengger di dinding kelas dan kantor masih belum berpindah ke hati. Tapi kita masih mencari. Ya, kita perlu mencari.

Mempercayai Janji Allah

Ketika sedang makan bersama istri di sebuah restoran, saya melihat ada keluarga kecil duduk tak jauh dari meja kami. Keluarga kecil itu nampak ramai. Ada tiga anak balita, dengan selisih sekitar setahun menurut saya. Sementara orangtuanya pun masih muda. Sang ayah dan ibu masing-masing menggendong satu anak dan anak tertua bermain di sekelilling meja. Sang ayah dengan jenggot lebatnya mencoba menenangkan, sementara sang ibu yang berjilbab penuh tersenyum sambil berkata sesuatu kepada anaknya.
image

Saya tergelitik dan menoleh kepada istri, “lihat di sana. Masih muda anaknya sudah banyak ya.” Lalu istri menjawab, “Iya, loh. Tipe mereka itu biasanya anaknya banyak. Dan sama sekali nggak khawatir kenapa-kenapa,” Saya sahut, “Yang betul?” Dijawab lagi, “Aku pernah tanya kepada teman yang anaknya sudah banyak. Jawabnya, dia nggak khawatir karena rezeki tiap manusia itu sudah dijamin Allah.”

Allah telah menjamin kecukupan rezeki makhluk-Nya*. Ini sepotong jaminan yang mulai dilupakan masyarakat muslim zaman sekarang. Seorang muslim idealnya percaya dulu atas jaminan Allah, baru berusaha untuk meraihnya. Patutlah kita tanya diri sendiri, apakah kita cari rezeki karena yakin sudah dijamin Allah, atau karena kita takut hidup kekurangan?

Keluarga kecil tadi adalah contoh bagus tentang keyakinan atas rezeki Allah. Bayangkan tahun ini berapa biaya persalinan dan kebutuhan sandang pangan anak. Belum lagi biaya sekolah yang mahal. Dikali 3 pula. Secara matematis, kita akan melakukan estimasi berapa gaji minimum yang dibutuhkan. Bisa 7-8 juta angkanya. Padahal gaji riil hanya sepersekian dari estimasi kebutuhan. Memang di atas kertas tidak logis, dan itu yang mendorong sebagian besar keluarga muda untuk beranak sedikit saja. Nyatanya keluarga yang saya lihat tadi nampak berkecukupan (lagipula makan di luar pasti lebih mahal daripada masak sendiri), anak-anaknya nampak sehat dan terawat. Istri saya pun mengonfirmasi hal yang sama dari teman-temannya. Betul bahwa ini berisiko tinggi, tapi dengan percaya atas jaminan rezeki Allah diiringi usaha, keluarga yang banyak anaknya dapat hidup layak.

Jujur saya iri dengan kadar keimanan orang seperti itu. Secara pribadi, pikiran logis masih menghantui saya. Bagaimana kalau tak ada uang buat kebutuhan? Apakah pendapatan saya bisa selalu mencukupi? Tidak jarang pikiran ini menghalangi rasa percaya atas jaminan Allah. Padahal jaminan itu tertera pada kitab suci. Sungguh jempol untuk orang-orang yang percaya akan jaminan Allah.

Sekarang saatnya mulai percaya. Tak mudah untuk yakin, karena sebagai manusia kita benci ketidakpastian apalagi soal rezeki. Tapi sebagai muslim, masihkah kita beriman kalau janji Allah saja kita ragukan? Padahal Dia zat yang Maha Menepati Janji.

Semoga kita semua belajar.

*QS Hud: 6

Tebang Pilih Berita Palsu (Hoax)

Hoax alias berita palsu akhir-akhir ini menjadi senjata berbahaya. Ampuh dalam perang opini di media sosial dan jejaring komunikasi. Pihak-pihak yang berseberangan saling lempar isu untuk menjatuhkan. Sampai tak jelas siapa benar atau salah. Seperti menentukan siapa paling bersih antara dua orang yang bergulat dalam lumpur.

Sebagai manusia, kita punya pilihan untuk menerima atau menolak opini orang lain. Kita juga punya pilihan untuk mendukung pihak yang sesuai dengan diri. Masalahnya, saya lihat di Indonesia, kedua pilihan tersebut tak diiringi dengan nalar sehat. Hanya karena sejalan dengan pemahamannya, lantas orang membela pendapat suatu pihak secara membabi buta. Pihak yang lain malah dicaci. Padahal semuanya sama saja, kasih hoax. Akibatnya adalah tebang pilih hoax/berita bohong.

Hoax yang berasal dari pihaknya sendiri diabaikan. Alasannya, yang penting niatnya baik. Tidak ada sumber validnya tidak apa-apa, yang penting ada pelajaran moral yang menginspirasi. Kalau hoax datang dari pihak lain langsung terpicu. Bilang ini penghinaan, konspirasi, dan semacamnya.

Bukankah bersikap demikian itu tidak adil?

Banyak contohnya bertebaran di linimasa. Perang opini pendukung calon pemimpin daerah, komunitas flat earth lawan komunitas saintifik, pro-NKRI lawan pro-revolusi, muslim garis keras lawan liberal sarkastik, dan beragam lagi. Anda merasa jengah melihat kebodohan merajalela? Saya sih iya.

Membela seseorang bukan berarti menutup mata atas kesalahannya. Toh yang dibela adalah manusia juga. Yang lebih penting adalah sikap objektif atas sebuah peristiwa. Kita boleh saja memihak asalkan adil. Kritik saya dalam postingan ini ada pada inkonsistensi sebagian masyarakat, bukan melarang mendukung dan memihak suatu kubu.

Poin yang ingin saya tekankan, berita palsu ya palsu. Entah kita suka atau tidak. Walaupun isinya bagus, kalau beritanya palsu ya jangan disebarkan. Saya melihat contohnya banyak sekali, terutama di grup WA. Ada kisah nabi atau sahabat yang terdengar sangat indah, namun tidak dicantumkan sumbernya. Setelah dicek ulang, ternyata tidak ada dasar hadist atau kitab. Walau menginspirasi, tetap saja namanya hoax. Kalau suatu saat kebohongan besar mendatangkan bencana dan anda ikut menyebarkannya, anda punya andil dalam mempertanggungjawabkan. Saat ini atau nanti.

Menurut saya ada 2 langkah penting untuk terhindar dari hasutan hoax.
1. Verifikasi atau tabayyun atas segala pemberitaan yang dibaca.
Cara verifikasinya adalah dengan melihat sumber tulisan. Harus terang nama atau instansi. Anda patut ragu kalau ada berita berisi, “menurut penelitian”, “menurut ilmuwan”, “menurut ulama”. Bahkan kalau ada namanya pun harus beserta buku atau publikasi yang jadi rujukan. Atau sekalian konfirmasi kepada sumber tersebut. Seperti yang dilakukan tabiin untuk mengumpulkan dan menyaring hadist Rasulullah yang shahih.
2. Jangan share berita kecuali anda sudah lakukan tahap 1 dan yakin beritanya bermanfaat bagi orang lain yang membaca.
Tombol share itu memungkinkan berita jadi viral dalam hitungan jam. Jadi pastikan anda yakin berita yang ingin anda sebarkan itu benar DAN bermanfaat. Kalau benar tapi tak bermanfaat, disimpan saja dulu. Kalau bohong tapi bermanfaat, tetap saja hoax seperti yang saya jabarkan di atas.

Mulai sekarang, mari berperan aktif menghilangkan hoax. Mari bertabayyun, belajar, dan tetap objektif dalam berpihak dan menyebarkan berita. Hoax adalah senjata, maka hindari.

Mawas Diri Aksi 4 November

When the dust settles, one can only learn.
Ketika situasi kembali tenang, saatnya memetik pelajaran.

Saya tidak demo, tapi mendukung lahir batin saudara muslim yang berdemonstrasi. Kalau tujuannya memproses Ahok secara hukum atas tuduhan penistaan agama, medan perjuangannya ada di jalur penyidikan dan peradilan. Yang saya kagumi adalah niat untuk membela dan menyuarakan Islam berskala besar. Ini belum pernah terjadi dalam beberapa dekade terakhir!

aksi-4-november-3

Umat dari berbagai penjuru Indonesia datang ke Jakarta

Terlepas dari pemberitaan media manapun, saya bilang demo kemarin berlangsung damai. Umat Islam dari berbagai penjuru berbondong-bondong dalam satu barisan. Bukan FPI saja, bukan HMI saja. Mereka tidak berasal dari satu ormas, tapi seluruh elemen masyarakat. Atasan saya di kantor pun ikutan. Nyatanya tidak ada perselisihan. Begitulah wajah muslim Indonesia sesungguhnya. Islam anarkis hanya kalangan minor yang kebanjiran spotlight media.

Aksi ini mengandung pesan tersirat bahwa Islam itu besar, cinta damai, namun bukan berarti bisa disepelekan. Wajar kalau bereaksi karena ucapan pemimpin yang menghina agama. Walaupun Ahok sudah minta maaf, demo ini tetap penting untuk menunjukkan sikap. “You don’t mess with us, dude.”

Yang lebih penting, demo ini menunjukkan bahwa kita bisa mencapai hal hebat apabila memiliki tujuan sama. Meskipun ada sumber mengatakan aksi ini disubsidi 100 miliar, saya coba pendekatan yang lebih masuk akal. Asumsikan ada 100.000 peserta aksi. Masing-masing memperoleh logistik berupa makan, minum, snack, dan atribut (info dari peserta). Ada juga dukungan transportasi. Dihitung kasar satu orang disubsidi Rp 100.000. Jadi minimal aksi kemarin menghabiskan sepuluh miliar rupiah! Itu untuk satu hari saja. Bayangkan dengan semangat yang sama kita majukan pendidikan, kesehatan, teknologi, dan layanan lain.

aksi-4-november-2

Berdasarkan info di grup WA tertutup, peserta aksi tidak menyadari ada perusakan sampai truk tiba-tiba terbakar. Lalu dengan mudahnya media menambahkan headline yang memojokkan peserta yang tertib.

Tak ada yang menduga aksi sebesar kemarin. Jangan menuding pihak ini salah, pihak itu keliru. Mau salahkan Buni Yani, Habib Rizieq, Ahok, Jokowi, sisa Orde baru, atau pengusaha bayangan, toh semua terjadi. Rasa hormat terbesar saya untuk orang yang berusaha keras menjaga situasi tetap terkendali. TNI/Polri, koordinator aksi yang menjaga satu komando, armada bebersih dari kalangan peserta sendiri, dan netizen yang mencegah berita provokasi. Kesiapsiagaan anda mencegah aksi ini diboncengi pihak perusuh dan perusak kesatuan.

aksi-4-november-1

Hati-hati provokator perusak

Selanjutnya apa? Aksi kemarin mengangkut adanya isu sara. Ini lebih mudah menyebar lewat sosial media dan kehidupan sehari-hari. Jangan sampai aksi ini membuat kita membenci orang yang berbeda keyakinan. Saudaraku yang muslim janganlah terpancing dan mengumpat “c*na” dan “kaf*r” kepada orang lain. Itu hanya merusak citra aksi damai kemarin. Lalu hindarilah 3 hal: rasa takut (fear), amarah (anger), dan ketidakpedulian (ignorance). Ketiganya tidak memperbaiki suasana.

Saya bicara sebagai orang yang murni ingin melihat dan mengamalkan Islam seutuhnya. Masih ada orang-orang yang keinginannya murni untuk memperbaiki Islam dan Indonesia. Diluar permainan politik, saya mengenal orang yang meninggalkan pekerjaan demi menyuarakan keyakinannya kemarin. Ulama dan pemuka yang turut serta pun demikian. Dari tempat itulah saya berpendapat. Orang baik tak boleh diam.

Jakarta, 5 Nov 2016

* **

#Tulisan ini berasal dari status FB pribadi saya dan saya post ulang di blog. Sumber gambar: grup WA tertutup. Semoga bermanfaat.

Balada bahasa indonesia Yogi Saputro

Itu Dibaca “Mim”, bukan “Meme”!

Bagi yang rajin berkiprah di dunia maya, istilah “meme” sudah tidak asing lagi. Gambar dengan caption lucu? Itu “meme”. Kutipan film/serial yang diplesetkan? “Meme” juga. Perkembangan “meme” di internet sangat pesat, termasuk di Indonesia. Akibatnya orang terbiasa menyebut “meme” untuk  hal-hal seperti itu. Padahal istilah tersebut merupakan kata serapan, ditulisnya meme (dengan huruf miring). Ini sudah sangat umum terjadi sampai orang mengira itu lazim. Post ini membahas bagaimana penulisan meme dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

tulisan-meme-dalam-bahasa-indonesia

Menurut Pedoman Penyerapan Istilah Wikipedia, kata baku meme dalam Bahasa Indonesia adalah mimema yang diserap dari bahasa Yunani Kuno. Dalam percakapan modern, mimema dapat disingkat menjadi mim. Seperti membaca huruf Arab [ م ]. Dalam Bahasa Inggris, meme pun pengucapannya mim. Kita menuliskan seperti apa yang terdengar, bukan mengikuti tulisan aslinya. Kalaupun mau ditulis sesuai aslinya, pakailah huruf miring sebagai pertanda itu istilah asing.

Dengan demikian, penulisan yang benar adalah sebagai berikut.

Penulisan Status
meme salah
meme benar
mim benar
mimema benar

Yang sudah terlanjur salah adalah masa lalu. Kalau sudah tahu yang benar mari dibiasakan. Bahasa Indonesia yang lurus terwujud kalau kita membiasakan berkalimat benar. Kalau Bahasa Indonesia jadi acak-acakan, itu tanda bahwa kultur kita mulai acak-acakan. Kita tak mau itu terjadi, bukan?

Salam.

5 Facebook Page Berhumor Cerdas

PERHATIAN! Perlu diketahui kalau “berhumor cerdas” itu artinya pembaca harus mengerti konteks yang disampaikan. Perlu pikiran terbuka untuk mengapresiasinya. Sebagian bisa saja menganggap “humor cerdas” adalah hujatan yang menyerang pihak mereka. Saya tekankan supaya tidak ada salah paham 🙂

Saya suka humor cerdas karena mengajak untuk berpikir. Bukan sekedar humor yang dipakai untuk mencela. Zaman sekarang, humor cerdas bertebaran di internet, termasuk Facebook. Ada Facebook Page yang memberikan saya dosis tawa tiap harinya. Dalam Facebook page tersebut ada materi yang mungkin sensitif karena berkaitan dengan agama dan paham politik. Tapi humor adalah humor. Jangan diambil hati, ambil hikmahnya.

Ada 5 page yang saya rekomendasikan kepada pembaca. Untuk menuju laman, klik saja judul page warna oranye di bawah 🙂

1. Doraemon Hari Ini

doraemon-hari-ini

Nobita memohon pada Doraemon untuk dipinjami alat, ditafsirkan jadi musyrik. Mungkin kalau dilihat dari ini saja, banyak yang demo supaya Doraemon ditarik dari peredaran.

Doraemon Hari Ini adalah page dengan konten potongan komik Doraemon yang ditafsirkan dalam konteks berbeda. Hasilnya adalah gambar ngawur dengan caption yang super lucu. Ada banyak alasan untuk memilih page Doraemon Hari Ini sebagai pilihan pertama.

  1. Page buatan lokal. Konten dan komunitas semuanya khas Indonesia.
  2. Gaya Bahasa Indonesia arkaik dengan selera humor intelek.
  3. Siapa yang tak tahu Doraemon?

 

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Page ini mulai rilis pada 2014 dan sayangnya pensiun dalam waktu kurang dari 2 tahun. Alasannya adalah materi komik Doraemon yang terbatas. Walaupun sudah tidak update, cek album foto page tersebut dan anda akan mendapati ratusan post yang menghibur. Dijamin tak mengecewakan.

2. Shit Academics Say

shit-academics-say

Ini adalah page lawak untuk kalangan akademis. Perjuangan mengajar sambil penelitian. Bagaimana begadang sampai pagi demi memenuhi Baca lebih lanjut

Proyek Roro Jonggrang

 

Di tempat saya bekerja, ada istilah “proyek roro jonggrang”. Bagi kami, istilah itu melambangkan mimpi buruk. Proyek roro jonggrang adalah simbol kemustahilan dalam sudut pandang manajemen proyek.

kamus-meme-proyek-roro-jonggrang

Mari sini, saya ceritakan lebih lanjut.

Sudah tahu kisah Roro Jonggrang? Singkatnya begini: Dulu, Bandung Bondowoso hendak melamar Roro Jonggrang, namun Roro Jonggrang tidak rela. Jadi Roro Jonggrang mencoba menggagalkan lamaran dengan memberikan syarat membuat 1000 candi dalam 1 malam. Dari segi manajemen proyek, Roro Jonggrang itu adalah klien tak berperikemanusiaan. Mengapa? Mustahil menyelesaikan pekerjaan lingkup besar sementara waktunya sangat singkat. Hal tersebut melanggar hukum keseimbangan segitiga proyek: lingkup, durasi, dan biaya. Hanya dengan keajaiban proyek itu dapat diselesaikan.

Di dunia kerja, kami menyebut proyek roro jonggrang untuk sebuah proyek dengan skala relatif besar dengan waktu sangat pendek. Ketimpangan skala dan durasi proyek itu bisa berlaku hingga tingkat ekstrem. Misalnya untuk melakukan instalasi perangkat di kantor 3 lantai kami membutuhkan waktu 2 bulan. Kemudian hal ini disampaikan kepada klien.

Project Manager (PM): “Pak untuk instalasi ini kami perlu waktu 2 bulan”
Klien (K): “2 bulan terlalu lama pak. Kita akhir September ada peresmian oleh gubernur. Jadikan 3 minggu ya.”
PM: (Mampus. Mana bisa 3 minggu) “Pak ini kan untuk implementasi kita butuh A…B…begini…begitu. Bisa diberi waktu lagi?”

Lanjutannya adalah negosiasi berkepanjangan. Tetap saja, konsumen (Roro Jonggrang sekalipun) adalah bos sebenarnya. Jadilah 3 minggu itu kami berusaha keras untuk melakukan “keajaiban” layaknya Bandung Bondowoso.

Hal yang menyebalkan dari proyek roro jonggrang ada 2:

  1. Mengacaukan alokasi sumber daya
  2. Menguras moral tim proyek

Biasanya alokasi sudah direncanakan dalam pengerjaan proyek. Apabila waktu pengerjaan proyek sangat pendek, yang bisa dilakukan untuk mengimbanginya adalah mengurangi lingkup proyek (yang nyaris mustahil) atau menambah sumber daya. Akibatnya, sumber daya baru harus dialokasikan dari luar tim. Itu “keajaiban” pertama.

Kemudian, “keajaiban” kedua dilakukan dengan memadatkan aktivitas. Hal itu berarti perlunya dedikasi lebih, biasanya berwujud lembur. Setiap hari. Tekanan yang tinggi seperti itu membuat tim cepat lelah dan moral terkuras.

Dari segi klien atau pemiliki proyek pun belum tentu santai-santai. Bedanya dengan Roro Jonggrang, klien ingin proyeknya selesai. Mentang-mentang bayar, lalu santai-santai? Tidak bisa juga. Untuk mengimbangi ritme kerja tim proyek, klien juga harus memberi dukungan. Mengambil keputusan dengan cepat dan mengurangi hambatan birokrasi hanyalah contoh kecil. Hal ini juga melelahkan bagi klien/pemilik proyek.

Jadi, proyek roro jonggrang adalah sesuatu yang baiknya dihindari, baik klien maupun tim proyek.

Manajemen proyek adalah seni menyelesaikan pekerjaan dengan sumber daya terbatas. Ingin postingan lagi soal manajemen proyek? Silakan komentar ya 😀

Terima kasih.

Rahasia Dibalik Nama Panjang yang Terpotong di Aplikasi

Nama anda panjang? Mungkin pernah dongkol ketika lihat nama Anda tidak dicantumkan penuh di tiket pesawat/kereta api atau di akun bank. Saya merasakan itu. Sebal rasanya lihat nama dipotong. Apa susahnya sih tambah sekian huruf?

Tiket KA nama dipotong

Kalau saya tidak belajar tentang IT, kedongkolan itu tetap ada di pikiran. Cuma lebih pasrah. Karena saya belajar, saya mengenal alasannya dan bisa menceritakannya kepada pembaca sekalian.

Bicara soal nama orang di dunia IT, terutama software engineering, wajib membahas dulu tentang database atau basis data. Database adalah wadah yang dipakai untuk menyimpan sekaligus menyortir data. Seperti lemari yang isinya diberi label A-Z. Salah satu jenis data yang paling sering disimpan adalah nama orang. Di sisi lain, database ada batasan kemampuan dalam menyimpan data. Seperti lemari yang cuma bisa menampung berkas dalam jumlah terbatas. Jadi para software engineer mengakali dengan cara membuat data nama orang panjang maksimumnya 20 karakter. Kemudian aplikasi disusun sedemikian rupa sehingga kalau seseorang memasukkan nama sepanjang lebih dari 20 karakter, kelebihannya akan dipotong.

Misal nama saya “Yogi Agnia Dwi Saputro” memiliki 22 karakter (bagi komputer, spasi dihitung satu karakter). Kalau saya input nama ke dalam aplikasi, dua kelebihan karakter akan dibuang. Menyisakan “Yogi Agnia Dwi Saput” dalam database. Sialnya, selama database itu yang dipakai oleh bank atau instansi, saya akan tetap “Yogi Agnia Dwi Saput” bagi mereka. Untungnya, gejala seperti ini hanya ada di aplikasi versi lama.

Meskipun hanya aplikasi versi lama yang memiliki isu ini, dampaknya masih terasa di Indonesia. Saya yakin masih ada di Indonesia yang memakai aplikasi versi dibawah 2005. Kemudian, ada semacam salah kaprah yang menyebar karena batasan nama 20 karakter. Ya, salah kaprah yang menganggap data nama orang harus 20 karakter. Lihat saja LJK (Lembar Jawab Komputer) yang tersebar di pelosok nusantara. Dari Sabang sampai Merauke, dari ujian SD sampai ujian masuk universitas, kolom nama dijatah hanya 20 kotak.

panjang nama LJK

Semua LJK memiliki jatah 20 karakter

Beberapa buku pedoman penggunaan aplikasi database juga mensyaratkan supaya nama dibatasi 20 karakter saja. Alasannya? Entahlah, dari dulu memang sudah begitu. Kita mah orangnya percaya dan terima saja. Apakah ini best practice alias pakem yang sudah paten dan tak bisa diubah? Dari sudut pandang saya, tidak. Sebab bagi orang bernama panjang (pasti banyak di Indonesia), itu tidak elok. Kalau nama saya masih mending, tidak berdampak pada perubahan arti. Coba misalnya nama “Gatotkaca Purnama Tirta” (mohon maaf kalau ada kesamaan nama, murni tidak sengaja). Kalau dipotong jadi “Gatotkaca Purnama Ti” (bila diucapkan seperti Gatotkaca purna mati). Lagipula, komputer zaman sekarang lebih bertenaga dan kapasitasnya besar. Pasti bisa mengakomodasi karakter yang lebih banyak.

Nama 20 karakter

Di salah satu buku petunjuk SPSS, dibilang begitu saja batasan nama 20 karakter. Untuk keseragaman? Ya ampun…

Perjuangan saya mengembalikan 2 karakter nama belum selesai. Saya cari penyebab munculnya standar panjang nama harus 20 karakter. Setelah melakukan riset kecil, saya memperoleh jawaban memuaskan dari laman bantuan teknis Microsoft:

Windows NT 3.1, 3.5, 3.51, and 4.0 do not support Windows NT global groups with names longer than 20 characters. This limit is imposed to allow for interoperability with OS/2 LAN Manager, DOS LAN Manager, IBM LAN Server, and Windows for Workgroups.

Sumber: https://support.microsoft.com/en-us/kb/131417

Windows NT 3.1, 3.5, 3.51, 4.0 adalah Windows edisi sangat lama. Windows 95 pun masih lebih baru dibanding versi tersebut. OS/2 LAN Manager, DOS LAN Manager, dan IBM LAN Server adalah semacam antarmuka untuk komputer mainframe yang ukurannya sebesar lemari baju. Global groups adalah database pengguna komputer yang berisi nama dan password. Dari sini saya mendapat pencerahan.

Berdasarkan jawaban di atas, observasi atas teknologi zaman tersebut, serta pengalaman dengan server keturunan mainframe, saya menyusun hipotesis sebagai berikut.

Pada akhir 80’an dan awal 90’an, komputer mainframe banyak digunakan oleh instansi seperti bank, lembaga keuangan, dan pemerintahan. Komputer mainframe memiliki kapasitas terbatas namun beban penyimpanan dan komputasi yang besar. Satu karakter memerlukan ruang 1 byte. Data nama orang, yang pasti ada di dalam database instansi tersebut, memiliki beban besar. Komputer mainframe didesain untuk menampung hingga jutaan rekam data. Bayangkan 1 byte dikali 1.000.000 sekitar 1 MB. Pada waktu itu, 1 MB tergolong besar, setara ukuran RAM komputer bagus pada zamannya.

Untuk membuat kinerja komputer mainframe tetap optimal, beberapa data harus dipangkas tanpa mengurangi banyak makna. Salah satunya adalah format tanggal DD/MM/YY yang mengakibatkan isu Y2K. Sekarang formatnya adalah DD/MM/YYYY. Nama orang juga dibatasi panjangnya untuk mencegah penggunaan sumber daya mainframe berlebih.

Pendeknya, nama orang disingkat oleh aplikasi dengan alasan efisiensi. Supaya mainframe server bisa melayani perhitungan data tanpa berhenti. Aplikasi lain juga harus mematuhi. Kalau mau masukkan data harus 20 karakter. Akhirnya menyebarlah ketentuan itu.

Sekarang, banyak server sudah digdaya. Kemampuannya jauh mengungguli pendahulunya. Sudah tak laku lagi batas 20 karakter untuk nama orang. Penghalangnya hanyalah ketidaktahuan atau kemasabodohan. Pemerintah  Inggris merekomendasikan standar karakter nama panjang maksimum 70 karakter. Masa kita tidak berkembang juga?