Ini adalah postingan (sok) filosofis yang terinspirasi dari obrolan harian saya dan Riri.
“Nanti pas kamu pulang aku bikinin telor ceplok ya. Telor ceplok buatan aku enak lohh,” kata Riri di kanal seberang. Ini terjadi sebelum kita ketemuan pas tahun baru. Obrolan seputar rencana di Ponorogo (selain pergi ke Bendungan Sawoo) menjadi topik seru. Karena LDR nya belum beres juga, kesempatan bertemu itu harus diisi dengan kegiatan yang exciting. Mendengar nada pede dari doi, saya iyakan aja.
Pada pagi hari yang dijanjikan, saya main ke rumahnya. Salim sama bapak ibunya, terus nyelonong ke dapur.
“Jadi apa yang spesial dari telor ceplok bikinan kamu?” saya bertanya macam juri MasterChef.
“Jangan sembarangan ya. Telor ceplok bikinanku itu rasanya asli banget. Minyaknya sedikit, terus apinya kecil. Terus cuma aku beri bumbu garam. Teman-temanku aja pada ketagihan.” jelas Riri ala chef hotel bintang lima.
“Bikin telor ceplok kan memang begitu. Aku juga bisa,” kucoba sedikit mendebat untuk memastikan keyakinan doi atas masakannya.
“Telor ceplok yang sempurna itu bikinnya susah. Kalau kelamaan, nanti tepi putih telor jadi gosong. Kalau kecepetan, kuning telornya nggak matang semua,” bela Riri.
Kalimat yang terakhir itu bikin saya ketawa. Sang juri mengakui kelihaian chef. Sepuluh menit kemudian telor ceplok matang saya lahap 😛
***
Sekarang saya mendekam di kosan daerah Karawaci. Di sela-sela kelelahan kerja dan kesendirian di kosan, otak jadi suka berimajinasi. Dari segudang kesenangan pas pulang, kalimat Riri yang terakhir itu terpatri erat. Saya jadi terinspirasi untuk mencetuskan sebuah istilah: dilema telor ceplok.

Terlalu niat untuk sebuah imajinasi filosofis liar? Inilah definisi dilema telor ceplok 😀
Dilema adalah pernyataan dengan dua opsi dimana tidak satupun menjadi alternatif yang lebih tepat. Dilema telor ceplok adalah dilema untuk mengambil keputusan di saat yang tepat, sebab terlalu cepat atau terlalu lambat melakukannya akan memberikan hasil buruk. Layaknya telor ceplok yang dimasak terlalu cepat, kuning telor tidak matang. Sementara kalau dimasak terlalu lama, putih telor jadi gosong.
Kalau sedang rajin berimajinasi, ada saja yang kepikiran. Saya bahkan sampai memikirkan aplikasi nyata dari dilema ini. Bayangkan pasar saham yang diisi fluktuasi harga. Keputusan jual atau beli diperhatikan presisi sampai hitungan menit. Telat jual dua menit, mungkin bisa rugi jutaan. Terlalu awal membeli sebelum harga saham benar-benar turun, bisa juga rugi.
Ini tulisan murni buah pikiran saya. Saya orangnya praktis, kalau diajak ngobrol filosofis yang terlalu dalam malah pusing sendiri. Jadi bahasannya sampai sekian saja :D. Kalau pembaca menemukan istilah spesifik untuk hal seperti ini dan sudah ada namanya, CMIIW ya. Bakal saya muat di tulisan ini.
PS: Telor ceplok buatan Riri paling maknyus 😛
Menyukai ini:
Suka Memuat...