Menyangkal Valentine dengan ‘Merayakannya’

DISCLAIMER: Postingan ini kontroversial. Supaya tidak menimbulkan debat kusir, silakan baca sampai tuntas. Pandanglah hakikat seseorang berbuat sesuatu, jangan sekedar menilai di permukaan tanpa memahami hikmah di baliknya.

Saya ingin menekankan pemahaman bahwa perayaan Valentine itu tidak berdasar kepada anak-anak. Di sisi lain saya juga perlu melihat tingkat pemahaman mereka sebagai anak SD tingkat akhir. Tidak bisa bilang asal “Jangan!”, karena anak-anak pasti makin penasaran apabila dilarang.

Satu ide yang muncul di benak saya: saya beli coklat untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak sekelas. Bukan coklat biasa, melainkan coklat yang besar. Silver Queen ukuran 1kg yang hanya dijual di dekat tanggal 14 Februari ini. Kemudian semuanya ikut patungan. Dengan demikian semua bisa merasakan konsep berbagi ini.

Perayaan valentine memotong coklat raksasa silverqueen bersama

Menanti coklat raksasa dipotong

Bukankah membagi coklat itu berarti merayakan Valentine? Berarti caranya salah dong?

Perhatikan ini.

Secara esensial, yang membuat Valentine dilarang dalam Islam itu ada dua:

  1. Asal mula perayaan yang tidak berhubungan dengan sejarah maupun budaya Islam
  2. Penyebaran konsep “kasih sayang” yang keliru antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan munculnya kemungkaran.

Tidak ada relasi langsung antara coklat (maupun bunga) terhadap Valentine. Semuanya hanya simbol yang dimunculkan untuk menumbuhkan sifat konsumtif.

Coklat adalah media. Pesannya adalah berbagi. Tidak perlu disalahartikan lagi. Justru dengan membelokkan makna inilah, anak-anak menjadi tahu bahwa ada yang lebih penting daripada sekedar mengucapkan kasih sayang lewat bunga atau coklat.

4 respons untuk ‘Menyangkal Valentine dengan ‘Merayakannya’

  1. Gara berkata:

    Setuju, coklat hanya media. Mungkin yang perlu kita lakukan adalah menyesuaikan makna, agar lebih selaras dengan apa yang kita sama-sama yakini benar :opini

    Suka

Tinggalkan Balasan ke raosan Batalkan balasan