Wacana yang Terlaksana
“Gampang kok naik Manglayang, sehari juga nyampe.” demikian kata teman-teman saat kita mulai berwacana mendaki Gunung Manglayang. Itu seminggu sebelum hari-H. Pembicaraan dilanjutkan lagi H-1. Masih belum fix. Baru pas hari-H jadi dipikir betul-betul. Dari awalnya saja sudah pendakian dadakan.
Saya sendiri sebagai pencari informasi langsung browsing di internet dan menemukan tiga blog yang berguna:
Blog 1: http://ilhamridhwan.blogspot.com/2014/06/Manglayang-1818-mdpl.html
Blog 2: https://galuhsunandar.wordpress.com/pendakian-gunung/pendakian-1-818-mdpl-gunung-manglayang/
Blog 3: http://www.arifsetiawan.com/2014/04/pendakian-gunung-manglayang-1818-mdpl.html
Persiapan dan Perjalanan
Persiapan dilakukan bersama dengan spek ringan untuk hiking satu hari. Perlengkapan pribadi meliputi ponco, air minum, baju ganti, jaket, makanan, dan obat. Sementara untuk kelompok kami membawa gula batu, tolak angin, senter, dan madu. Tidak lupa briefing dan berdoa sebelum berangkat.
Jalur menuju puncak Manglayang ada dua jalur: Batu Kuda atau Barubereum. Dengan pertimbangan jarak lebih dekat, kami pilih jalur dari Batu Kuda.
Kami berangkat bersama naik sepeda motor. Penggunaan sepeda motor ini sangat menguntungkan terutama karena jalan menuju Batu Kuda tidak terjamah kendaraan umum dan medannya cukup curam. Alternatif kendaraan menuju Batu Kuda adalah carter angkot atau mobil pribadi. Jalur menuju Batu Kuda berbelok-belok. Meskipun demikian tak perlu takut tersesat karena ada penunjuk jalan “Daerah Wisata Batu Kuda” di tiap belokan.
Berdasarkan Google Map di atas. Perjalanan menuju Kuda Batu dapat ditempuh sekitar 45 menit dari Bandung (pakai ITB sebagai acuan).
Mulai Pendakian
Sesampainya di Batu Kuda dapat dijumpai pos. Di sini tempat membeli tiket masuk seharga Rp 5.000. Sementara parkir dikenakan biaya tambahan Rp 5.000 per motor. Menurut saya biayanya cukup sepadan dengan fasilitas yang ditawarkan. MCK dan musholanya bersih dengan air yang segarnya menembus kalbu (baca: dingin banget).
Berangkat dari Kuda Batu sekitar pukul setengah sebelas pagi, kami langsung dihadapkan dengan tanjakan curam begitu vegetasi hutan pinus menghilang diganti hutan bambu. Sungguh rasanya tanjakan awal itu langsung mematahkan asa (dan dengkul). Baru 20 menit mendaki, getaran hebat sudah terasa di kaki.
Setelah 30 menit berselang, baru saya merasakan ritme yang enak dalam mendaki. Sebelum itu nafas dan kaki terasa tidak sinkron. Tiap mengayun kaki serasa digantungi palu godam. Saya langsung sadar betapa lamanya sudah tidak melakukan exercise.
Jalur pendakian Manglayang sempit dan licin. Bahkan untuk berpapasan pun hampir tidak bisa. Seringkali kemiringan berkisar 60 derajat. Tambah lagi, jalur pendakian itu nampaknya merupakan jalur air kalau hujan turun. Untung masih terdapat akar pepohonan yang membantu kaki berpijak. Perlu fokus dan usaha ekstra sepanjang mendaki.
Puncaknya Ada Dua?
Setelah mendaki dua jam lebih sedikit, kami tiba di puncak Manglayang. Plang yang sudah tercoret tanda pendaki lain menandakan hal tersebut. Soal pemandangan, tidak ada yang bisa dipandang di sini. Puncaknya tertutup pepohonan. Areanya luas sehingga memungkinkan berdirinya banyak tenda. Di sana kami bertemu rombongan pendaki lain. Kami mengobrol sedikit dan bertanya soal jalur menuju Puncak Timur.
Dari awal kami sudah tahu bahwa Manglayang ini memiliki dua puncak: Puncak Utama dan Puncak Timur. Rencana awalnya ingin ke Puncak Timur baru ke Puncak Utama. Ternyata jalur pendakian kami tidak memungkinkan hal tersebut. Sehingga kami harus ke Puncak Utama, turun ke Puncak Timur, kembali ke Puncak Utama, baru kembali ke bawah agar bisa menikmati secara maksimal. Tidak masalah.
Turun ke Puncak Timur memerlukan waktu sekitar setengah jam. Sampai di sana kami disambut bentangan wilayah Sumedang yang lapang. Cuaca silih berganti antara hujan, kabut, dan cerah. Tetap saja, foto-foto tidak terhindarkan dalam kondisi apapun.
Naik lagi ke Puncak Utama memerlukan waktu satu jam kurang sedikit. Kami beristirahat sejenak sambil ngobrol kesana-kemari. Ada selingan pula ‘modus’ dengan kelompok pendaki lain.
Saatnya Kembali
Turun ke Batu Kuda kami proyeksikan hanya satu setengah jam lamanya. Namun karena medan yang licin pasca hujan, kami memerlukan waktu lebih lama. Kejadian terpeleset tidak terhindarkan. Yang penting dijaga agar kaki tidak cedera dan badan tidak jatuh.
Sekitar pukul lima kurang seperempat kami berhasil sampai di Batu Kuda dengan selamat dan lega. Ingin rasanya badan langsung merebah di rerumputan. Tapi peregangan pantang dilupakan kalau mau bebas nyeri otot esok pagi.
Kami makan dan sholat sembari beristirahat di bawah naungan pohon pinus. Foto-foto lagi pun jadi jadwal wajib. Menjelang maghrib barulah kami berangkat pulang.
Sudah lama saya tidak naik gunung. Hiking sehari di Manglayang ini memberikan penyegaran sekaligus nyeri otot yang menyenangkan. Danang sang pencetus acara ini bilang kalau Gunung Manglayang itu ‘kecil-kecil cabe rawit’. Meski cuma 1.818 mdpl, tantangannya boleh diadu dengan gunung-gunung sekitar di Jawa Barat.
Sebagai tambahan, saya tambahkan postingan ini untuk daily prompt ala WordPress dengan tema “Re-springing Your Step”.
mantap kang, sebetulnya ada 8 jalur menuju puncak utama ,cuma yang sering dilewati 2 jalur diatas , kalo pengen tau lebih jelasnya bisa dibuka disini http://atrokpenmbusrimba.blogspot.co.id/2016/02/rute-jalur-gunun.html
SukaSuka
Nice info deh. Boleh juga kalo ada jalur lain, kan tantangannya lain juga. Asal ga nyasar hehe.
SukaSuka