Inilah Indonesia: Mengapa Pesta Pernikahan itu Mahal?

Karena untuk sewa tempat, membuat undangan, menyediakan jamuan, menyewa busana pengantin, membeli souvenir, transportasi, dan prosesi pernikahan lainnya. Apakah jawaban yang Anda bayangkan demikian? Kalau iya, tulisan ini akan membawa Anda menyelami alasan yang lebih dalam. Bukankah menurut hukum yang berlaku di Indonesia, pernikahan itu sah asalkan tercatat resmi di KUA? Dalam ajaran agama-agama yang saya ketahui, tidak ada kewajiban yang memberatkan dalam hal pelaksanaan jamuan atau resepsi pernikahan. Terdapat beberapa alasan lain yang mendasari fenomena mahalnya pernikahan. Semuanya berkaitan erat dengan budaya manusia.

Awalnya saya berniat membuat postingan ini dalam rangka merespon sebuah meme. Intisari meme tersebut kalau tidak salah demikian:

Pesta pernikahan itu nggak ada gunanya. Kita mempersiapkan biaya berjuta-juta untuk acara beberapa jam, didandani dan bersalaman dengan orang yang nggak kita kenal.

Saya coba cari file gambarnya di situs sosial media sulit sekali. Entah sudah tenggelam di mana. Mencari di Google tidak kalah sulitnya karena tidak ada kata kunci yang tepat. Namun saya harap maksudnya dapat dimengerti. Katakan saja seseorang membuat meme tersebut karena melihat fenomena pernikahan seolah-olah itu formalitas belaka. Buat apa menghabiskan puluhan hingga ratusan juta hanya untuk acara sekian jam? Itu pertimbangan yang masuk akal. Namun sekaligus saya bakal mengatakan pendapat itu bersifat ignorant. Bahasa ekstremnya apatis. Mengapa? Karena bukan begitu pola pikir bangsa kita.

Bagi manusia, pernikahan merupakan event yang sangat penting dalam perjalanan hidup. Ini salah satu yang membedakan kita dengan binatang. Kita merayakan hubungan antara pria dan wanita! Pernikahan dimeriahkan oleh komunitas terdekat. Maka dalam konteks masyarakat, pernikahan adalah event sosial. Bahkan bisa menjadi event politik. Sejarah banyak mencatat bersatunya kerajaan karena sang raja memilih permaisuri dari negeri lain. Di Indonesia, nilai ini masih berlaku secara kuat. Persepsinya masuk ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian nilai sebuah pernikahan tidak bisa dipandang sebelah mata.

Sadar atau tidak, biaya pernikahan itu bukan dipandang sebagai biaya yang bisa diatur sedemikian rupa agar tidak membebani keuangan, melainkan biaya yang harus dipenuhi agar seluruh prosesi pernikahan berjalan lancar. Menurut opini saya, orang Indonesia cenderung memilih berhutang untuk biaya pernikahan daripada merasionalkan biaya pernikahan.

Di sini saya berusaha menceritakan fenomena di masyarakat kita. Saya berusaha tidak memberikan judgement tertentu. Perkara seperti ini bukan untuk dicari baik buruknya. Saya menulis untuk memberikan pengertian, terutama kepada yang belum terlalu mengenal budaya sendiri. Ini sesuatu yang samar namun mengakar. Dengan memahami akar budaya, kita akan lebih bijak dalam menyikapi fenomena biaya pernikahan ini. Jadi mengapa biaya pernikahan itu mahal? Berikut adalah alasan-alasan pokok yang mendasarinya.

1.Prestise

Mari lihat contoh yang sudah terkenal: pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina. Saya tidak suka bergosip, tapi berdasarkan berita infotainment di TV maupun internet diperkirakan biayanya sekitar Rp 10 miliar. Satu lagi, berita pernikahan ini diliput oleh media nasional dan menjadi tontonan sekian juta rakyat Indonesia. Efek langsungnya adalah berkembangnya kabar fenomena pernikahan ini di masyarakat Indonesia. Lewat televisi, media sosial, maupun obrolan mulut ke mulut. Otomatis Raffi dan Nagita menjadi bahan pembicaraan utama.

Pernikahan Raffi-Gigi di Bali (Sumber: capebanget.com)

Pernikahan Raffi-Nagita di Bali (Sumber: capebanget.com)

Sadar atau tidak, pernikahan Raffi dan Nagita telah mengubah standar mindset masyarakat Indonesia. Kita jadi menganggap pernikahan yang demikianlah yang paling oke, idaman mertua, sekaligus tidak terjangkau karena mahalnya. Berbagai opini masyarakat pun bermunculan.

“Raffi Ahmad keren banget. Dia rela menghabiskan sejumlah besar hartanya untuk membahagiakan pasangannya.”

“Raffi Ahmad cuma sekedar pencari sensasi. Buat apa sih nikah mahal-mahal? Pakai disiarkan di TV pula.”

Kedua jenis reaksi di atas menimbulkan dampak serupa. Ketenaran Raffi Ahmad makin meningkat. Dia memperoleh prestise besar. Di masa yang akan datang pun orang-orang mungkin akan mengingat pernikahan megah sebagai bagian dari Raffi Ahmad. Semua karena pesta pernikahan yang sekejap itu.

Sekarang mari beralih ke sudut pandang lebih besar. Sudah saya katakan bahwa pesta pernikahan adalah event sosial. Bukankah sifat alami manusia kalau suatu ketika ingin unjuk ‘kebolehan’ di antara anggota masyarakat yang lain? Pesta pernikahan menyediakan kesempatan langka bagi satu keluarga untuk meningkatkan posisi sosialnya. Tidak lupa juga untuk meningkatkan posisi laki-laki di mata keluarga perempuan. Maka berbagai usaha pun dilaksanakan agar menghasilkan pesta pernikahan yang meriah. Alhasil, biaya pun membengkak. Motivasi yang tidak terucap ini berlangsung turun-temurun.

2. Adat Istiadat

Panggih, salah satu tahap proses pernikahan ala Keraton Jawa (Sumber: http://ariana-myjourney.blogspot.com)

Silakan dicari di Google:

Prosesi pernikahan adat Sunda (atau Jawa, Batak, Bugis, Bali, Papua, Dayak, terserah Anda)

Yang muncul adalah rentetan prosesi perkawinan tradisional yang panjang. Membosankan? Bertele-tele? Bagi yang sudah tersentuh kehidupan modern mungkin iya. Sekali lagi, ini adalah budaya. Orangtua atau calon mertua (terutama kalau satu etnis) umumnya akan mempertahankan tradisi pernikahan adat yang sudah berlangsung sejak lama.

Prosesi pernikahan adat umumnya berlangsung dari proses lamaran hingga turun dari pelaminan. Prosesnya bisa memakan waktu berhari-hari. Pada cerita zaman dulu sering ada kisah yang menyebutkan perkawinan selama tujuh hari tujuh malam. Itu sebagian besarnya diisi dengan upacara adat sesuai masyarakatnya.

Dengan banyaknya tahapan dalam proses pernikahan itu, banyak yang memilih untuk menyederhanakan proses pernikahan menjadi tiga tahap: lamaran, ijab kabul, dan resepsi. Di sisi lain baiknya kita tahu bahwa menentang tatanan adat demi penghematan biaya itu kurang bijak.

3. Tekanan Sosial

Tekanan sosial itu tidak sejelas tekanan dikejar Satpol PP. Tapi kalau kena sama-sama bahaya (Sumber: Wikimedia Commons)

Tekanan sosial itu tidak sejelas tekanan dikejar Satpol PP. Tapi kalau kena sama-sama bahaya (Sumber: Wikimedia Commons)

Misalnya Anda baru saja menikah, lalu tiba-tiba dihubungi seorang rekan, “Eh, lu habis nikah ya? Kok nggak undang gue sih?”. Rasanya agak kurang enak meskipun kita punya alasan untuk melakukannya. Bisa juga ketika Anda akan menikah lalu teman-taman Anda bakal berkata, “ditunggu undangannya ya..!”. Itu sebagian dari tekanan sosial yang bekerja di lingkungan kita.

Tekanan sosial inilah yang ‘memaksa’ kita mengeluarkan biaya tertentu dalam rangka pernikahan. Umumnya tekanan sosial berbanding lurus dengan status sosial. Agak sulit dibedakan dengan prestise memang. Menurut saya, prestise menentukan ‘batas atas’ sementara tekanan sosial menentukan ‘batas bawah’. Misalkan Anda anak pejabat daerah yang akan menikah, secara otomatis Anda diharapkan oleh lingkungan untuk melangsungkan pesta pernikahan yang megah. Coba bayangkan saja anak bupati menikah di rumah sendiri dengan iringan organ tunggal. Bisa ditertawakan satu karesidenan, pak! Sementara kalau mengadakan pesta yang megah sungguhan, tetap jadi bahan pembicaraan. Uang dari mana, tukang foya-foya, dan sebagainya. Ini memang aneh. Paradoks, namun demikianlah yang berlaku.

Berlakunya tekanan sosial ini bervariasi tergantung masyarakatnya. Di Indonesia kan beragam jenis masyarakat jadi ada macam-macam ceritanya. Satu hal yang jelas, tekanan sosial ini membentuk satu ikatan hak dan kewajiban dalam masyarakat. Yang mengadakan pernikahan memang keluar banyak biaya. Bukan berarti warga sekitar pun bebas tinggal menikmati acara. Di beberapa daerah di Jawa, pemberian warga diperhitungkan. Besar kontribusi yang diberikan untuk pesta pernikahan menjadi sesuatu yang penting. Misalkan anggota keluarga Anda ada yang menikah, lalu muncul tetangga yang memberikan sekarung beras (ini lazim di desa-desa Pulau Jawa). Kelak jika tetangga tersebut yang melangsungkan pernikahan, Anda terancam jadi bahan gosip sekampung kalau tidak bisa memberikan kontribusi senilai sekarung beras tersebut.

Dengan konsep seperti itu, pesta pernikahan mewajibkan anggota masyarakat untuk mengeluarkan biaya tertentu. Biaya yang nyaris tak bisa ditawar.

4. Selebrasi Orang Tua untuk Anaknya

Alasan ini tidak terlalu kuat, namun tetap ada pengaruhnya dalam konteks pesta pernikahan.

Bagi sebagian orang, pernikahan merupakan simbol pelepasan anak dari orangtuanya. Tanda bahwa sepasang manusia telah siap untuk hidup secara mandiri. Orangtua biasanya ingin memberikan persembahan terakhir untuk anaknya secara istimewa. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan pesta pernikahan yang meriah dengan mengundang rekan, kolega, serta jejaring yang lain. Orangtua suka mengundang banyak orang sampai yang tidak dikenal mempelainya. Mungkin itulah cikal-bakal munculnya meme yang saya sebut di awal. Jadi mahal pun tak apa, toh setelah ini mereka akan membiayai hidupnya sendiri. Demikian pikir sang orangtua.

Saya tidak mengatakan ini berlaku untuk semua kasus. Hanya saja saya yakin bahwa orangtua manapun akan berjuang semaksimal mungkin untuk membuat momen pernikahan anaknya tak terlupakan.

Penutup

Biaya pernikahan yang mahal memang tak terhindarkan. Itu semua dalam rangka merayakan event sosial dengan semua dinamikanya. Seluruh biaya tersebut memiliki fungsi asalkan dikeluarkan dengan bijak. Jangan khawatir, semua kebagian bayar kok hehehe. Saya tekankan lagi bahwa di sini saya membahas fenomena, bukan cara menghemat biaya pernikahan. Kritik, saran, dan pengalaman saya tunggu buat perbaikan.

Yang terakhir saya persembahkan intisari:

Pernikahan itu untuk kedua mempelai. Sementara pesta pernikahan itu untuk semua orang selain mempelai.

10 respons untuk ‘Inilah Indonesia: Mengapa Pesta Pernikahan itu Mahal?

  1. andyprimawan berkata:

    Itu dia yogi. Bener juga ya ngumpulin dana yang banyak, habis untuk beberapa hari aja. Tapi memang sisi lainnya adalah, pernikahan ya sekali-kalinya, makanya jadi “perlu” untuk meriah. Apa lagi kalo perempuannya adalah anak tunggal. Nah kan gimana tuh rundingan sama calon mertuanya. Hehe

    Disukai oleh 1 orang

  2. anwar berkata:

    Demi gengsi/prestise orang rela berhutang jual tanah rumahnya hanya untuk acara 3 jam… abis acara hutang numpuk pusing kepala sementara rumah tangganya belum tentu langgeng … hayu berfikir rasional

    Suka

    • Pandangan sosial itu penting bagi banyak dari kita. Pernikahan yang keren itu diharapkan dari keluarga, tetangga, dan orang2. Rasional atau nggak, begitulah keinginan banyak orang :p

      Suka

  3. Betul banget social circle juga sangat amat mempengaruhi hal ini sih ya. Tapi saya rasa balik lagi ke pilihan. Saya rasa dan liat beberapa anak muda golongan standar dan menengah2 saja (cem saya juga sih 😋) udh berpikir lebih rasional lebih baik uangnya untuk dp rumah gtu ya mengingat harga properti yg gila2an di jakarta…

    Tulisan yg menarik mas yog. Salam kenal 😀

    Suka

  4. Yahh kadang emang jadi dilema tersendiri sih masalah biaya pernikahan ini… tapi satu hal yang saya percaya, berapapun biayanya jika kita percaya dan yakin untuk sanggup membiayai itu semua dan dengan bantuan yang maha kuasa semua pasti ada jalannya. Win win solution

    main juga ke blog saya ya (klik di nickname!)

    Suka

  5. Anonim berkata:

    Gara2 para pendahulu , banyak anak muda berbuat zina sekarang, coba kalo para pendahulu mencontohkan pernikahan itu semudah mungkin , ga akan seperti zaman sekarang jadinya …

    Suka

Silakan berkomentar di sini