Kartini: (Jangan) Sekedar Simbol Emansipasi Wanita

Selamat Hari Kartini bagi yang merayakan. Eh, siapa yang merayakan Hari Kartini? Tengok saja sekeliling, di tepi jalan hingga kantor pemerintahan. Pawai-pawai meriah diadakan, perempuan berdandan dan berkebaya, bunga-bunga dibagikan di jalan, lomba-lomba PKK diadakan. Di televisi dan media massa lain tak kalah heboh. Liputan khusus diadakan, bahkan hingga film dokumenter khusus. Semuanya dilakukan untuk memperingati Hari Kartini.

Raden Ajeng Kartini (Sumber: Wikipedia)

Memangnya apa sih jasa Kartini bagi Bangsa Indonesia?

Pertanyaan di atas sulit dijawab kecuali dengan membaca kembali sejarah.

Apakah Kartini mengusir penjajah? Tidak. Dia justru berkorespondensi dengan orang-orang Eropa. Apakah Kartini pendiri organisasi massa yang memperjuangkan kepentingan rakyat? Bukan. Dia cuma setara lulusan SD lalu hidup dipingit. Apakah Kartini kaya dan dermawan? Dia keturunan bangsawan namun tak berharta. Lalu apa yang membuat nama Kartini melambung begitu tinggi?

Jawabannya adalah buah pikiran Kartini.

Mungkin ada yang bertanya, “Apa hebatnya cuma menulis surat kepada kaum penjajah? Banyak pahlawan perempuan lain yang lebih berjasa. Mereka membangun sekolah, ikut terjun ke medan perang, …” dan seterusnya. Saya bilang, hati-hati kawan dengan pendapat yang demikian. Aksi memang terdengar lebih mantap, namun perubahan pola pikir memberikan dampak jauh lebih besar. Dengan membuat sekolah zaman itu, berapa orang yang bisa dibantu? Puluhan. Mungkin ratusan kalau sudah berkembang. Dengan berperang langsung, mungkinkah mengusir seluruh penjajah? Paling satu batalyon mundur, lalu kembali lagi dengan bala bantuan lebih besar. Saya tidak mengecilkan peran para pahlawan di bidang tersebut, ya. Hanya saja ada alasan perjuangan sporadis tidak mampu menyelesaikan masalah secara menyeluruh.

Dengan berkorespondensi dan menyebarkan gagasan tertulisnya, Kartini mampu memukau ribuan orang nun jauh di Eropa sana. Dia menulis soal feodalisme yang mengekang perempuan, soal kemanusiaan, soal agama, dan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan.Sulit dipercaya ada pribumi, dari golongan bangsawan, perempuan pula, yang mampu memberikan pandangan visioner pada masa itu. Apa efeknya? Dunia pun menengok ke Hindia Belanda, tempat yang dulunya dianggap antah-berantah. Hal tersebut menurut saya jadi pemicu hal penting seperti politik etis. Jadi Kartini berperan dalam skala yang tak terbayangkan untuk kebangkitan bangsa ini.

“Sebagai pengarang, aku akan bekerja secara besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat kami” Panggil Aku Kartini Saja – Pramoedya Ananta Toer

Kartini adalah pencetus pemikiran terbuka yang lahir dari bangsa kita. Pikiran terbuka itulah yang seharusnya kita pelajari dan hargai. Emansipasi adalah konsekuensi dari pikiran yang terbuka. Dengan menghargai peran dan kapabilitas perempuan, seharusnya tidak ada lagi pengekangan dan diskriminasi. Di sisi lain, bagi saya tidak perlu terlalu ambisius dalam menggiatkan apa yang disebut “kesetaraan gender”. Laki-laki dan perempuan ditakdirkan atas peran yang berbeda. Peran tersebut fitrahnya saling melengkapi.

Tujuan hakiki dari perayaan Hari Kartini adalah melahirkan Kartini baru untuk Indonesia (Sumber: ourworld.unu.edu)

Kembali lagi ke perayaan Hari Kartini. Pelaksanaan lomba, aksi-aksi di jalan, liputan-liputan spesial, itu semuanya memiliki maksud yang baik. Yang perlu ditekankan adalah esensinya. Lewat post ini saya mengingatkan lagi misi besar peringatan Hari Kartini. Emansipasi perempuan hanyalah sebagian dari buah pikiran Kartini. Bukalah pikiran, hilangkan tembok perbedaan, dan mari menyongsong terbitnya terang.

25 respons untuk ‘Kartini: (Jangan) Sekedar Simbol Emansipasi Wanita’

  1. Sebagai sesama seorang penulis saya respek sama Kartini. Tapi untuk kepahlawanan rasanya Cut Nyak Dien dan Dewi Sartika yg kalah populer itu sebenernya lebih berjasa.

    Emang bener sih seperti prinsip Pram, menulis mengabadikan kita agar gak hilang dari sejarah. Jadi ya selamat hari Kartini aja.

    Suka

    • Menurut buku Pram, kalo nggak salah Kartini juga berkorespondensi dengan tokoh perempuan di Hindia Belanda termasuk Dewi Sartika. Kartini juga membaca soal kisah Cut Nyak Dien. Jadi keduanya pasti menginspirasi Kartini.

      Hanya saja menurutku nggak bisa dibilang siapa yang lebih berjasa. Semuanya ada medan juang masing-masing. Yang bisa dibilang adalah efek yang ditimbulkan Kartini lebih besar.

      Suka

      • Belum baca yg Kartini, tapi baca sekilas di roman tetralogi Bumi Manusia diungkit soal Kartini ini.
        Dan emang betul, semua punya andil masing-masing. Seorang penulis, meski tugasnya “sepele” hanya membuat deretan kata, tetap dikatakan berjasa.

        Suka

  2. Gara berkata:

    Selamat Hari Kartini! Melalui tulisannya, Kartini sudah menggugah. Mungkin ia tak mengangkat senjata, tak juga bertaruh nyawa untuk perjuangan fisik via perang, tapi Kartini sudah memenangkan perangnya, perang dalam bentuk pertentangan buah pikiran feodal dan pembaruan dan persamaan :hehe.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Yang suka sebelnya kadang perempuan menuntut kesetaraan gender yg berlebihan. Bahkan salah ngomong dikit ttg perempuan aja dibilang seksis oleh ‘mereka’.

    Suka

      • Di twitter lumayan byk kok. Dan feminist yg byk sy temuin di twitter, perempuannya suka ngerokok, tatoan dll. Jadi miris kalo liat feminist skrg beda bgt sm Kartini. Tp ini cuma pndt sepenglihatan saja. Gak menggeneralisir juga.

        Suka

      • Gerakan feminist sebagian sudah menyimpang juga. Menuntut hal yg menurut saya menyalahi kodrat laki-laki dan perempuan. Sulit berurusan dengan yg begitu.

        Suka

Silakan berkomentar di sini